Membaca Undang-Undang RI
No. 36 th 2009 tentang Kesehatan
Membaca Undang-Undang RI No. 36 th 2009 tentang Kesehatan yang dimulai dari menimbang,—–terdiri dari 5 dasar pertimbangan perlunya dibentuk undang-undang kesehatan yaitu pertama; kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur kesejahteraan, kedua; prinsip kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Ketiga; kesehatan adalah investasi. Keempat; pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, dan yang Kelima adalah bahwa undang-undang kesehatan no 23 tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat—– Kemudian —– mengingat ; Undang-Undang Dasar tahun 1945 Negara Republik Indonesia—dan menetapkan undang-undang kesehatan yang terbaru ini, yang terdiri dari 22 bab dan pasal-ke pasal sejumlah 205 pasal, serta penjelasannya.“Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsure kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Saya hanya mendapatkan “satu pokok pikiran” setelah membacanya yaitu telah ada niat ingin melakukan perubahan paradigma upaya pembangunan kesehatan yaitu dari paradigma sakit yang begitu kental pada Undang-Undang Kesehatan sebelumnya (no 23 tahun 1992) bergeser menjadi paradigma sehat.
“Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan sakit. Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari sentralisasi menuju desentralisasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.”
Ada niat karena setelah membaca
undang-undang kesehatan terbaru ini jelas mampu menjawab komplesitas
pembangunan kesehatan yang tidak terdapat (tertampung lagi) dalam
undang-undang kesehatan yang lama.
“Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang setiap daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan PemerintahNomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan perlu disesuaikan dengan semangat otonomi daerah. Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan”
Hanya saja Undang-Undang Kesehatan yang baru ini (no. 36 tahun 2009) tidak memuat konsep yang jelas tentang “kesehatan masyarakat” —— mungkin karena undang-undang ini hanya menyangkut tentang kesehatan saja—— Sebagaimana inti dari paradigma sehat, yaitu pendekatan promotif dan preventif
yang tentunya sasaran utamanya adalah masyarakat, kemudian masuk kepada
induvidu-induvidu atau perorangan,—— tapi biasanya membatasi diri pada
induvidu atau perorangan—- bukan kuratif dan rehabilitative yang
sasarannya adalah dari induvidu-induvidu kemudian meluas pada
masyarakat, yang seharusnya tidak bisa diklaim sebagai kesehatan
masyarakat karena sifatnya yang homogen, menyangkut individu——masyarakat itu sendiri sifat heterogen— Bahkan
masyarakat ini sendiri tidak dicantumkan dalam ketentuan umum dalam
undang-undang kesehatan terbaru ini, sehingga undang-undang kesehatan
ini ——–kalau boleh saya katakan——-
hanya di peruntukkan untuk pemerintah pusat dan daerah termasuk petugas
kesehatan sebagai payung hukum untuk menyelenggarakan pembangunan
kesehatan. Tetapi tidak diperuntukkan
untuk masyarakat sebagai pemilik kesehatan, pemilik partisipatif,
pemilik investasi kesehatan, pemilik hak asasi kesehatan dan sebagai
subjek pembangunan kesehatan, SANGAT IRONIS !!!
Masyarakat walaupun dalam undang-undang ini disebutkan seperti pada Bab 1 Ketentuan umum pasal 1 ayat 2 menyebutkan “Sumber
daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan
kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan
kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.” Penjelasan dari ketentuan umum seperti yang ada
pada bab V tentang sumber daya bidang kesehatan, bahkan keterangan
lainnya pada pasal-pasal berikutnya tentang masyarakat tidak ditemukan
sama sekali, padahal sangat jelas di atas, ada tiga penyelenggara upaya kesehatan yaitu pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, Apakah
mereka (Anggota DPR RI) lupa atau tidak tahu sama sekali, bahwa
masyarakat salah salah satu unsur dalam penyelenggaraan pembangunan
kesehatan, Wallahu a’lam!?
Undang-Undang Kesehatan terbaru ini (no.
36 tahun 2009) akan semakin kurang jelas bila dikaitkan dengan mereka
yang bekerja dalam lingkup kesehatan masyarakat karena “pengertian kesehatan Masyarakat”, pengertian tentang “kesehatan” memang ada dalam undang-undang ini ( Bab 1 ketentuan umum pasal 1 ayat 1 ) yaitu “Kesehatan
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.” Namun pengertian tentang kesehatan masyarakat sebagai kunci dari paradigma sehat sama sekali tidak ditemukan.
Saya seorang yang berkecimpung dalam kegiatan epidemiologi kesehatan ———-Ilmu yang mempelajari kesehatan masyarakat bukan kesehatan induvidu———–sebagai
ibu dari kesehatan masyarakat, hanya bisa menulis bahwa Pendekatan
promotif dan preventif yang tentunya sasaran utamanya adalah masyarakat,
kegiatannya dimulai dari penggerakan pelayanan kesehatan masyarakat
kemudian masuk atau membatasi diri kepada kegiatan kesehatan
induvidu-induvidu atau perorangan. Sementara kuratif dan rehabilitative
yang sasaran kegiatannya dimulai dari kegiatan atau pelayanan kesehatan
induvidu-induvidu kemudian meluas dan tidak membatasi diri kepada
lingkup masyarakat dan mengklaim sebagai kegiatan yang mencakup
masyarakat luas alias kesehatan masyarakat. Yang jelas kuratif dan
rehabilitatif adalah pendekatan paradigma sakit yang sudah terbukti
gagal dalam proses pembangunan kesehatan Nasional.
Pada penjelasan pasal 3, sedikit
dijelaskan tentang kesehatan masyarakat, namun kalau dicermati, pasal 3
dan penjelasannya tersebut hanya merupakan penjabaran dari pengertian
tentang “kesehatan” sebagaimana disebutkan dalam undang-undang kesehatan terbaru ini.
Pasal 3. tersebut menyatakan “Pembangunan
kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan
sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.”
Penjelasannya dari Undang-undang ini adalah “Mewujudkan
derajat kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan keadaan
kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan
kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau
masyarakat. Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya
secara terus menerus agar masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam
pembangunan dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”
Dalam penjelasan tersebut Pengertian atau
definisi tentang kesehatan masyarakat sama sekali tidak ditemukan,
padahal dalam Pasal 33 ayat 1 “Setiap
pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus
memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.” Namun “Apakah Kesehatan Masyarakat itu?, tidak jelas atau belum jelas dalam undang-undang kesehatan ini.
Sehingga ketika masuk pada bab II asas dan tujuan, sebenarnya undang-undang kesehatan ini ditujukan kepada siapa, Apakah untuk masyarakat?,
yang jelas tidak mungkin secara tersirat ditujukan kepada masyarakat
tetapi karena tidak tersurat, sehingga undang-undang hanya ditujukkan
kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan.
Bab-bab lainnya dan pasal-pasal
selanjutnya misalnya bab III tentang Hak dan Kewajiban, pada bagian
pertama tentang hak hanya berisi hak-hak perorangan tentang kesehatan,
nanti pada bagian kedua tentang kewajiban berisikan kewajiban kesehatan
terhadap diri sendiri, masyarakat dan wawasan lingkungan sehat.
“Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.”
Namun
demikian Kewajiban atau tanggung jawab masyarakat itu sendiri tidak
ditemukan, —sekali lagi tidak ditemukan——– yang ada hanyalah tanggung
jawab pemerintah, seperti yang diuraikan dalam bab IV.
Di Bab lain juga hanya ada peran serta masyarakat seperti yang diuraikan
pada Pasal 174 dan pasal 175 Bab XVI tentang peran serta masyarakat,
berbunyi “ Masyarakat berperan serta, baik secara
perseorangan maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan
pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, secara aktif dan
kreatif”
Namun sekali lagi kesehatan masyarakat,
dan atau masyarakat dalam undang-undang kesehatan terbaru ini sepertinya
masih perlu dijabarkan lagi atau diatur lebih lanjut dengan peraturan
menteri kesehatan, atau telah dijabarkan sebagaimana dicantumkan dalam “Pasal
203 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.”
Selamat Tinggal Undang-Undang Kesehatan
Yang Lama dan Selamat Atas Berlakunya Undang-Undang Kesehatan Yang Baru.
Sebagaimana ditunjukkan Pasal 204. Pada saat Undang-Undang ini
berlaku,—— tanggal 30 Oktober 2009—— Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Secara Keseluruhan Sistimatika dari Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan adalah:
Bab I Ketentuan Umum yang menurut pembacaan penulis kurang sistemetik dan tidak tuntas penjelasannya misalnya saja pengertian dari “Kesehatan masyarakat” dan pengertian dari “masyarakat” itu sendiri Bab II Maksud dan Tujuan Bab III Hak dan Kewajiban Bab IV Tanggung Jawab Pemerintah Bab V Sumber daya Bidang Kesehatan, yang berisi tentang tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan Bab VI Upaya Kesehatan, yang berisi upaya pelayanan kesehatan perorangan dan kesehatan masyarakat : pelayanan kesehatan;, perbekalan kesehatan,Tehnologi dan produk tehnologi pelayanan kesehatan tradisional; peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit; penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan; kesehatan reproduksi; keluarga berencana; kesehatan sekolah; kesehatan olahraga; pelayanan kesehatan pada bencana; pelayanan darah; kesehatan gigi dan mulut; penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran; kesehatan matra; pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan; pengamanan makanan dan minuman; pengamanan zat adiktif; dan/atau bedah mayat. Bab VII Kesehatan ibu, bayi, anak, remaja, Lanjut Usia dan Penyandang Cacat Bab VIII Gizi Bab IX Kesehatan Jiwa Bab X Penyakit Menular dan tidak menular Bab XI Kesehatan lingkungan yang bersisi tentang lingkungan yang berwawasan kesehatan (lingkungan sehat) meliputi limbah cair; limbah padat; limbah gas; sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah; binatang pembawa penyakit; zat kimia yang berbahaya; kebisingan yang melebihi ambang batas; radiasi sinar pengion dan non pengion; air yang tercemar; udara yang tercemar; dan makanan yang terkontaminasi. Bab XII Kesehatan Kerja Bab XIII Pengelolaan Kesehatan. yang berisi tentang : pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan Bab XIV Informasi Kesehatan Bab XV Pembiayaan Kesehatan Yang berisi pembiayaan kesehatan 5 % APBN, 10 % APBD dimana 2/3 untuk kegiatan preventif dan promotif Bab XVI Peran serta Masyarakat disini berisi peran serta masyarakat tetapi masih tersirat masyarakat masih sebagai objek dalam pembangunan kesehatan
Bab XVII Badan Pertimbangan Kesehatan Bab XVIII Pembinaan dan Pengawasan Bab XIX Penyidikan Bab XX Ketentuan Pidana Yang berisi ketentuan pidana penjara dan denda bagi pelanggaran pelaksanaan sumber daya kesehatan dan upaya kesehatan, yang menarik dari bab ini adalah pada Pasal 200 “Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) “ Menarik bagi penulis karena ASI eksklusf adalah penentu status kelangsungan dan perkembangan Sumber Daya Manusia yang handal. Dan juga presentase penggunaan ASI Eksklusif yang baru mencapai 25-50%.
Bab XXI Ketentuan peralihan Bab XXII Penutup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar